Feeds:
Posts
Comments

Archive for December, 2013

NANG HUMUNTAL PE ANGKA ROBEAN
Cipt: Drs. Bonar Gultom (Gorga)

Molo masa angka parungkilan
Molo songgop manang hangalutan
Holan sada natau sitiopon
Hata ni Tuhan ni padan nai

Nang humuntal pe akka robean
Manang munsat dolok tu toruan
Padan asi roha hada mean
Padan ni Tuhan i sai hot doi

Sai ingot padan ni Tuhan mu
Manipat ari manang borngin golomonmu
Dang jadi ganggu be rohamu
Tuhan i nampuna ngolumi
Ngolumi

Nang humuntal pe akka robean
Manang munsat dolok tu toruan
Padan asi roha hada mean
Padan ni Tuhan i sai hot doi

(kembali ke: Molo masa….)

Pada setiap pemberkatan pernikahan pastilah bapak/ibu pendeta menekankan dasar penikahan bagi umat Kristen. Matius 19: 6 “Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.”

cup-seal-ukuran-14-12-10-oz

Bagi orang Batak Kristen pernikahan bukan hanya mempersatukan dua insan yang telah sepakat membentuk rumah tangga yang baru, melainkan juga setidaknya mempersatukan dalam tatanan adat 2 keluarga besar yakni keluarga besar (marga) mempelai pria dan keluarga besar (marga) mempelai wanita.
Ketika orangtua mempelai perempuan akan menyampirkan ulos hela, tentu mereka menekankan kembali nats Matius 19:6 tadi demikian juga rombongan Tulang dan horong ni Hulahula pastilah mengingatkan mempelai: “Tung na so jadi hamu marsirang, so sinirang ni hamatean”.
Hal tersebut jugalah yang mengikat kedua mempelai untuk senantiasa hidup rukun dan bilapun kemudian hari ada perselisihan dalam rumah tangga maka keduanya berupaya semaksimal mungkin untuk dapat menyelesaikan persoalan dan menghindari perceraian (jangan sedikit-sedikit minta cerai).
Bagi orang Batak Kristen perceraian adalah aib.
Mungkin terdengarnya terlalu ideal. Namun hal itulah yang diharapkan oleh setiap orang Batak Kristen, perceraian adalah hal yang tabu dan sangat dihindari.

Bagi keluarga muda terkadang terjadi “riak-riak rumah tangga”, oleh karenanya bila terjadi perselisihan antara suami dan istri, maka sangat pantang bila istri mengadu kepada orangtuanya atau keluarga pihak Hulahula. Bila ada hal yang dipandang diluar batas yang wajar sehingga harus dinasehati maka sebaiknya istri menyampaikannya kepada Tulang suaminya, sebaliknya juga demikian jika suami merasa bahwa ada perilaku dari istri yang perlu mendapat nasehat maka adalah pantang besar bagi seorang suami untuk melaporkannya kepada Hulahulanya (mertuanya). Adalah jauh lebih baik jika dia menyampaikannya kepada Tulangnya (Tulang suami). Mengapa demikian ? Hal itu adalah salah satu konsekuensi dari Tintin Marangkup (Tulang pangoli dan Parboru telah sepakat bahwa meskipun bukan boru kandung dari Tulangnya mempelai pria maka akan istri dari berenya tersebut akan diperlakukan seperti borunya sendiri. Bila ada perselisihan maka Tulang dari suami terbeban untuk mendamaikan dan menghindari adanya perceraian.

Belakangan ini dalam kenyataan sehari-hari mulai ada perceraian pada keluarga Batak Kristen. Apakah ini pengaruh perubahan zaman ?. Dari sisi agama jelas hal itu dilarang kecuali jika salah satu dari mereka secara sah dan meyakinkan (dengan bukti yang kuat) melakukan perzinahan. Salah satu hal yang diajarkan Yesus di bukit (Khotbah di bukit), Matius 5:32 “Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang menceraikan isterinya kecuali karena zinah, ia menjadikan isterinya berzinah; dan siapa yang kawin dengan perempuan yang diceraikan, ia berbuat zinah”.

Dari perspektif adat Batak proses perceraian pun sangat berat dan rumit karena istri adalah boruni raja dan suami anak ni raja, maka segala tindak tanduk harus juga raja (ada etika dan sopan santun yang menunjukkan kedudukannya) sehingga kalaupun harus bercerai (sirang) maka yang boleh menggugat cerai hanyalah suami karena istrinya sudah “dialap”(dilamar dari keluarga besar perempuan dan dinikahi dengan prosesi adat) maka bila terpaksa harus bercerai haruslah “dipaulak” (dikembalikan kepada secara adat kepada keluarga besar perempuan).
Tentu secara adat bukan perkara mudah bagi pihak keluarga suami”paulak parumaen” (mengembalikan menantu kepada besan). Hal inilah yang membuat meskipun kenyataannya suami istri tidak lagi serumah (padaodao) pihak suami tidak mengembalikan istrinya kepada mertuanya.
Bila hal itu terjadi berikut adalah beberapa pertanyaan yang akan muncul dikemudian hari.

1. Bagaimana bila ternyata istri tersebut belum melahirkan anak bagi suaminya, si istri tidak “dipaulak” malah sisuami menikah lagi dengan wanita lain. Tidak ada alasan menceraikan istri karena belum dikarunia anak dan si suami pun dengan alasan tersebut tidak dibenarkan untuk menikah lagi (ingat pernikah Kristen adalah monogami). Si istripun tidak diperkenankan kembali sendiri kepada orangtuanya. Bila suaminya meninggalkannya maka dari sisi adat batak dia berhak untuk tetap dikeluarga suaminya, bila perlu dia menetap dirumah mertuanya. Namun demikian dia berhak meminta kepada mertuanya untuk mengembalikannya kepada orangtuanya. Nah ini yang bikin mertua pusing 7 keliling, sulit melaksanakannya tetapi bila sudah diminta oleh menantu maka HARUS dilaksanakan, dan rasa malu luar biasa karena ini termasuk aib besar.

2. Bila istri tidak “dipaulak” padahal dia telah melahirkan anak bagi suaminya, bagaimana kedudukannya ?. Selama dia tidak “dipaulak” maka dia tetap menjadi istri sah, adapun anak-anak yang dilahirkannya adalah anak sah dari sisuami, bahkan bila pun kemudian sisuami menikah lagi dan mendapatkan keturunan dari istri keduanya maka putera dan putri dari istri pertama adalah sulung (siangkangan) dari putera dan putri istri kedua. Putra putri istri pertama memiliki hak waris dari harta kekayaan kakeknya(ompung) dan bapaknya(among).

Selama seorang istri tidak “dipaulak” maka dia TIDAK BOLEH menikah karena dia masih paniaran (menyandang nyonya dari marga suaminya). Bila telah”dipaulak” maka dia telah putus hubungan dengan keluarga besar mantan suaminya termasuk dengan anak-anaknya, segala hak dan kewajibannya terhadap keluarga besar suami telah berakhir. Dengan demikian dia boleh menikah kembali dan segala hak dan kewajibannya mengikuti suami yang baru.

Bagaimana bila tidak “dipaulak” tetapi si perempuan tersebut menikah kembali ?. Sebelum melangsungkan pernikahan, maka seharusnya pihak laki-laki yang akan menjadi suaminya harus menanyakan status dari si perempuan karena bila ternyata belum “dipaulak” mereka telah melangsungkan pernikahan, maka secara adat hal itu dianggap “selingkuh” karena si perempuan masih paniaran (nyonya) marga suami terdahulu.
Bila ternyata belum “dipaulak” maka solusinya adalah marga pria calon suami datang menemui marga suami si perempuan dan mengutarakan maksud dan tujuannya serta meminta melepas si perempuan dari ikatan tentu dengan “membayar kompensasi” (salah satu diantaranya mengembalikan sinamot yang telah disampaikan keluarga pihak suami kepada pihak perempuan). Bila keluarga pihak suami tersebut menerima permintaan tersebut maka status si perempuan sudah sama dengan “dipaulak”.

Bila belum “dipaulak” semua anak yang lahir dari hasil pernikahan tersebut adalah anak dari marga terdahulu. Bahkan bila kemudian hari perempuan tersebut meninggal dunia maka putra putri dari suami pertama berhak untuk meminta ibunya dimakamkan di makam keluarga mereka, karena hak dan kewajiban perempuan tersebut belum lepas. Sebaliknya bila sudah “dipaulak” maka putra putri dari suami pertama tidak berhak apapun bahkan bila mereka hadir diacara adat meninggal “mantan” ibunya, kehadiran mereka sama seperti pelayat umum bukan sebagai anak.

Dengan demikian perceraian dalam masyarakat Batak Kristen adalah hal yang sangat tabu dan bila terpaksa dilakukan prosesnya sangat rumit, mendapat sanksi sosial dan dari sisi gereja (secara khusus HKBP) maka orangtua dan keluarga tersebut akan mendapat RPP (siasat penggembalaan). )* dibeberapa gereja lain istilahnya berbeda namun pada umumnya mendapat penggembalaan.

sticker-sedulur2

Jika masih nekad ingin bercerai dan siap menanggung resiko adat dan agama (Kristen) maka proses paulakhon sbb:

Borhat ma paranak rap dohot anakna dohot parumaenna i tu huta ni parboru mamboan sipanganon.
On ma naginoaran Paulak ULOS PANGOSE
Ia namargoar ulos pangose mangihuthon hatorangan ni angka natua-tua, songon on ma pardalanna: Olo do na mardongan saripe marrongkap badan, ndang marrongkap tondi. Lapatanna, ndang tubuan anak nasida ndang tubuan boru (ndang adong rindangna).
Di sada tingki gabe marsirang ma nasida sian dos ni roha nasida be. Di jolo ni raja, sipaulahon ni paranak ma ulos sampetua (ulos hela goarna nuaeng on) najinalona hian di tingki pesta unjuk tu parboru. Ima naginoaranna ulos pangose. Ai nunga mose padan ala so marrongkap tondi. Dung mulak ulos pangose, i pe asa boi muli boru napinasirangna i.
Najolo ninna natua-tua, molo marhamulian sada boru naung marsirang, molo ndang mulak ulos sampetua, dietong nasida do anak natinubuhonna i gabe rindang ni humuliaonna na parjolo. I do umbahen jolo disungkun halak borua i, naung sirang manang naung dipagoi, ai padalan pago-pago do paranak dohot parboru tu raja molo masa angka sisongon i.

Catatan penting:
Seorang perempuan selama belum “dipaulak” suaminya maka dia adalah istri sah, memiliki hak dan kewajiban dikeluarga marga suaminya sepanjang hidupnya. Bila sudah “dipaulak” maka terhitung hari tersebut hak dan kewajiban dikeluarga marga suaminya berakhir dengan sendirinya.

Demikian pemahaman saya berdasarkan apa yang saya pelajari dan yang saya terima dari penjelasan para tetua adat.

Tabe mardongan tangiang.

St. Sampe Sitorus/br Sitanggang (A.Hitado Managam)

Medang Lestari – Tangerang, Banten

Note:

HENTIKAN PLAGIAT jangan copy posting tulisan ini dan merubahnya seolah-olah tulisan saudara/i.  Anda bisa bohongi saya, tapi TUHAN tidak bisa anda bohongi.

Read Full Post »