Secara umum tuak dikenal oleh masyarakat di Indonesia sebagai jenis minuman yang disebut arak. Bagi masyarakat etnis Batak Toba tuak menjadi minuman khas dan dalam berbagai kegiatan adat istiadat dianggap sebagai minuman kehormatan. Tuak aslinya disadap dari pohon bagot(enau) dikenal sebagai tuak bagot. Bagot(enau) sebagai pohon produktif bukanlah merupakan pohon yang dibudidayakan oleh orang Batak, melainkan tumbuh secara alami melalui penyebaran binatang seperti rubah dan musang. Habitat tumbuhnya sekitar 200-1200 dpl namun lebih produktif untuk menghasilkan tuak pada ketinggian sekitar 350-900 dpl. Tanaman ini tidak tumbuh pada tanah dataran rendah sekitar permukaan laut sehingga pada daerah dataran rendah produksi tuak diperoleh dari penyadapan pohon kelapa dan dikenal sebagai tuak kalapa. Melihat tuak secara fisik adalah seperti seduhan susu yang berwarna putih dan adapula yang berwarna putih kekuningan. Berdasarkan prosesnya tuak dikategorikan atas :
- Tuak raru yaitu tuak yang telah difermentasikan dengan ramuan sejenis kulit kayu yang pada akhirnya juga memberi rasa pahit. Kadar alkohol berkisar 3 – 5 %
- Tuak na tonggi yaitu tuak yang rasanya agak manis. Kadar alkohol berkisar 1 – 3 %.
Bagaimana tuak menjadi minuman khas orang Batak dan bahkan menjadi minuman yang disajikan pada prosesi adat, tentu sudah sangat panjang sejarahnya. Sewaktu Marco Polo mengunjungi Sumatra tahun 1290, menyebutkan bahwa bangsa Batak sudah gemar minum tuak. Mengkonsumsi tuak sudah merupakan budaya yang sangat melekat pada diri masyarakat Batak dan mempunyai arti yang khusus karena tuak dapat digunakan sebagai sarana keakraban, sebagai pengungkapan rasa terima kasih dan juga sebagai minuman persahabatan.
Tuak merupakan sarana perwujudan silaturahmi di antara bagian-bagian Dalihan Na Tolu (DNT) yaitu pihak hula-hula adalah keluarga dari pihak istri yang menempati posisi yang paling dihormati, sehingga dipesankan agar hormat kepada hula-hula (somba marhula-hula), kemudian unsur Dongan Tubu yang sering disebut dengan Dongan Sabutuha yaitu saudara laki-laki satu marga, kemudian unsur yang ketiga yaitu pihak Boru adalah keluarga yang mengambil istri dari suatu marga. Tuak lumrah dikonsumsi semua kalangan pada saat pesta adat sehingga menciptakan hubungan yang akrab, minum tuak juga dapat diartikan sebuah isyarat untuk memudahkan komunikasi secara terbuka di antara sesama anggota masyarakat. Tuak diminum waktu santai, pesta, kelahiran anak, kematian, musyawarah dan juga sebagai obat. Tuak yang dipakai pada upacara adat umumnya disebut sebagai tuak tangkasan yaitu tuak asli yang diambil langsung dari pohon enau pada pagi hari tanpa bercampur dengan ramuan lain sehingga rasanya masih manis, karena rasa manisnya dalam bahasa Batak Toba disebut dengan tuak na tonggi. Tuak tangkasan sebenarnya adalah tuak yang dihasilkan dari tangkai bunga yang pertamakali disadap dari satu pohon bagot dan biasanya memang mengandung citarasa yang lengkap sebagai tuak konsumsi. Masyarakat Batak yang ada di Tanah Batak memang sangat doyan minum tuak, hal ini dipengaruhi kontur tanahnya berbukit-bukit bercuaca relatif dingin sehingga membutuhkan kehangatan melalui kebiasaan minum tuak. Ikatan solidaritas masyarakat Batak yang kuat disebabkan oleh adanya proses interaksi diantara sesama anggota masyarakat dan adanya tuak sebagai media atau sarana penghubung yang terjadi di lapo tuak.
Proses pembuatan tuak menjadi minuman sebenarnya tidak memiliki standar baku dan sangat tradisional, oleh karenanya secara umum tuak yang disajikan mempunyai citarasa yang berbeda-beda. Setiap penyadap (paragat) memiliki standar racikan sendiri-sendiri yang saling menonjolkan keunggulannya sehingga sulit untuk mendapatkan tuak dengan cita rasa yang sama. Artinya kualitas dan rasa tuak yang kita beli kemarin akan berbeda dengan tuak hari ini, meskipun dari paragat atau lapo yang sama. Tuak yang disadap dan diracik hanya dapat bertahan sekitar 24 jam, selebihnya akan berubah rasa menjadi asam dan beresiko dapat menyebabkan keracunan. Hal inilah salah satu yang mendorong masyarakat Batak terbuka (dapat menerima) minuman beralkohol yang diproduksi secara modern dengan standar mutu yang terjamin. Dikemudian hari masyarakat Batak mulai terbiasa mengkonsumsi bir. Selain karena alasan tersebut diatas, juga prestise maka sejak era tahun 1980-an perlahan tapi pasti bir mulai menggantikan peran tuak pada berbagai acara adat Batak baik di desa maupun diperkotaan. Meskipun bir yang disajikan namun tetap diungkapan sebagai tuak “naniagatan” di pabrik (tuak yang disadap dan diracik pabrik) atau namargumo (yang berbusa). Song “Lissoi”
Lissoi lissoi lissoi lissoi o parmitu
Lissoi lissoi lissoi lissoi inum ma tuakmi (bir Bintang i)
http://www.multibintang.co.id/ourbrand.php
Tangerang 20 April 2015
Dirangkum dari berbagai sumber dan panuturion ni natuatua (pencerahan para tetua).
St. Sampe Sitorus,SE/br Sitanggang (A.Hitado Managam Sitorus)