Mamasuhi jabu/bagas (syukuran memasuki rumah baru) dengan mengadakan acara Partangiangan (Ibadah Syukur) pada dasarnya adalah satu hal yang baik dan sewajarnya di lakukan oleh setiap keluarga Batak Kristen.Dengan demikian berarti yang bersangkutan bersyukur atas segala berkat yang telah mereka terima dari Tuhan Sang Sumber Berkat.
Namun belakangan ini kami perhatikan ada semacam trend semua orang mengadakan acara Partangiangan (Ibadah Syukur) pada hari Minggu bahkan bertepatan dengan jam ibadah di gereja (pukul 10.00 wib) dengan mengundang pendeta dari gereja tempat dia terdaftar sebagai jemaat. Adapun alasan pemilihan hari Minggu karena Hula-hula bisanya di hari tersebut (Jumat dan Sabtu ada ulaon/pesta), sementara waktu pelaksanan pukul 10.00 wib alasannya “Parnangkok ni Mataniari”. Cilakanya keluarga besar dan sanak famili dari tuan rumah tidak “marminggu” dan mereka menganggap toh disana juga dilaksanakan Ibadah bahkan tak jarang tuan rumah mengundang jemaat yang satu wijk (sektor) dengannya.
Ini menjadi dilematis bagi seorang pendeta (khususnya pendeta HKBP), karena pendeta seharusnya melayani di Parmingguon di gereja. Dan menurut aturan yang berlaku di HKBP seyogyanya permintaan seperti itu tidak dilayani. Namun di sisi lain jemaat beranggapan bahwa seyogyanya pendeta melayani karena toh itu juga ibadah. Pernah suatau kejadian pendeta melayani di acara memasuki rumah sementara pelayan firman di gereja seorang Sintua. Pernah juga terjadi terpaksa pendeta sibuk mencari pendeta pengganti untuk menjadi pelayan firman di gereja karena pendeta tersebut akan melayani ruas yang memasuki rumah baru.
Yang menjadi pertanyaan sekarang, seandainya ada 2 atau 3 anggota jemaat yang melaksanakan acara yang sama atau sejenis pada hari Minggu dan meminta pendeta untuk melayani serta mengundang jemaat satu wijk (sektor) dengannya untuk menghadiri Ibadah Syukur tersebut, bagaimana jadinya ?. Bisa-bisa gereja kosong.
Atas hal tersebut marilah kita renungkan bersama. Menurut pemahaman saya marilah kita upayakan acara tersebut tidak dilakukan di hari Minggu melainkan di hari Sabtu. Jika pun terpaksa karena partingkian (masalah waktu) dilaksanakan hari Minggu, maka sebaiknya Ibadah Syukur dilakukan setelah jam ibadah (parmingguon) di gereja. Contoh: Acara Hula-hula dohot Tulang pasahat napalas roha ni pamoruonna hasuhuton (memberi ulos dan dengke) dilakukan terlebih dahulu dimulai sekitar pukul 10:oo wib, kemudian sekitar pukul 12.00 setelah pendeta datang (selesai parmingguon di gereja) dilanjutkan dengan Ibadah Syukur baru marsipanganon. Setelah marsipanganon baru kemudian dilanjutkan dengan marhata sigabe-gabe. Artinya sude angka nauli nadenggan na pinasahat ni Hula-hula dan Tulang di pasingkop ma dohot acara partangiangan.
Atau jika punya prinsip bahwa ibadah harus lebih dahulu, maka ya sabarlah menungggu pendeta. Perihal parnangkok ni mataniari harus dimaknai bukan lagi letter leg sekitar pukul 10.00 wib, toh juga kalau mau jujur rumah tersebut sudah lebih dahulu kita tempati beberapa hari lalu baru dibuat acara mamasuhi jabu. Sangat jarang dan hampir tidak ada rumah yang benar-benar baru di masuhi (tempati) pada hari acara tersebut dilaksanakan. Jadi kalau mau benar-benar menempati rumah pada saat parnangkok ni mata ni ari (fajar merekah menuju terik matahari – melambangkan kehidupan yang bersinar cerah / meningkat) ya lakukanlah ketika pertama kali pindah (memasuki rumah tersebut) disanalah lakukan doa bersama anggota keluarga.
Khusus bagi kita Pomparan Raja Mandidang Sitorus, marilah kita upayakan agar acara mamasuhi jabu tidak dilaksanakan hari Minggu. Marilah kita mamfaatkan hari Minggu untuk bersekutu dan beribadah di gereja kita masing-masing.
Ini sekedar masukan, barangkali ada pemikiran yang lain agar Ibadah di gereja tidak terkendala ?.
Tabe mardongan holong na sian Tuhanta Jesus Kristus.
St. Sampe Sitorus, SE
saya sangat setuju atas pikiran yang diberikan, sama halnya dengan partangiangan marga dan parsahutaon, sering menghambat tidak ikut lagi ibadah minggu di gereja bagi keluarga yang menjadi tuan rumah partangiangan disebabkan mempersiapkan segala sesuatu hidangan dalam partangiangan itu, dengan alasan toh dirumahnya juga ibadah, jadi tak perlu lagi ikut ibadah minggu di gereja. Menyedihkan rasanya…….mauliate.
Terima kasih amang Sihar sudah berkunjung ke blog kami. Betul yang amang katakan, itulah realita yang masih kita temui. Mungkin melalui pendekatan dan pencerahan hal itu dapat berangsur berubah. Dahulukanlah TUHAN. Ibrani 10:25 “Janganlah kita menjauhkan diri dari pertemuan-pertemuan ibadah kita, seperti dibiasakan oleh beberapa orang, tetapi marilah kita saling menasehati dan semakin giat melakukannya menjelang hari Tuhan yang mendekat”.
Amang, kalau ternyata hula-hula kandung amang sitorus meminta acara mamasuhi jabu di hari minggu karena memang benar-benar tidak bisa di hari lain selain hari minggu, dan harus di jam 10, apa yang akan amang lakukan?
Terima kasih sudah berkunjung ke blog kami. Pertama sekali yang ingin saya tegaskan adalah Mamasuhi Jabu adalah acara yang digelar oleh si yang empunya rumah. Dalam artian sebagai Hulahula tentu Hulahula saya “harus” memaklumi bahwa mereka “tidak punya hak” untuk memaksakan kehendaknya. (Misal harus hari Minggu pukul 10 pagi pula). Agar semua pihak bisa hadir dan penuh suka cita, tentu acara tersebut jauh-jauh hari sudah kita bicarakan kapan akan dilaksanakan agar semua pihak bisa mengalokasikan waktu, namun demikian jika memang pihak Hula-hula misalnya tidak bisa di hari Sabtu, ya kita cari hari lain dimana ada hari Libur Nasional. Namun jika juga katanya mereka tidak bisa hadir dihari tersebut, pilihan terakhir ya sudah jalankan saja ulaon mamasuhi jabu tersebut tanpa dihadiri Hulahula kandung. Bukankah sesungguhnya ulaon mamasuhi jabu tersebut adalah Ungkapan Syukur dari yang punya rumah kepada TUHAN dan permohonan berkat TUHAN agar dilindungi dan disertai TUHAN selama menempati rumah tersebut. Intinya jika pihak Hulahula tetap bersikeras tidak bisa hadir seyogyanya mereka memberikan “mandat” kepada dongan tubunya (misal kepada haha/anggina Sitanggang yang ada di sekitar kami), namun demikian jika tidak juga mereka lakukan maka Ulaon Mamasuhi Jabu akan tetap saya langsungkan tanpa kehadiran Hulahula kandung. Ungkapan Syukur kepada TUHAN tidak boleh dihalangi oleh siapapun.